Catatan Hardi..

Sepenggal Cerita dalam Sepertiga Akhir Kehidupan

Tubuh Ini Tak Lagi Muda, Tapi …

Saya tidak bisa membohongi usia.
Kaki tak lagi sekuat dulu, fisik tak lagi seprima dulu.
Dulu satu hari bisa penuh dengan aktivitas, sekarang harus diselingi duduk, istirahat, atau sekadar menarik napas dalam-dalam.

Tubuh ini tak lagi muda, memang.
Tapi itu bukan berarti saya sudah tidak bisa apa-apa.

Saya masih bisa berjalan pagi.
Masih bisa membantu orang rumah, beres-beres perabotan, atau sekedar mencuci motor.
Masih bisa memegang pena, atau mengetik kata demi kata seperti sekarang.
Masih bisa menjadi tempat bertanya, tempat bercerita, tempat pulang bagi anak-anak yang kini mulai sibuk sendiri.

Yang berubah bukan hanya tenaga, tapi cara saya memaknai tenaga itu sendiri.

Dulu, saya bangga jika bisa bekerja keras seharian penuh.
Sekarang, saya bersyukur jika bisa menyelesaikan satu hal dengan tenang, tanpa tergesa, dan tanpa menyakiti tubuh saya sendiri.

Saya tidak perlu membuktikan bahwa saya masih sekuat dulu.
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa saya masih ada, masih berarti, dan masih bisa memberi.

Terkadang, hal-hal besar bisa datang dari tubuh yang sederhana.
Doa saya bisa menjadi pelindung bagi anak yang mulai mandiri.
Kehadiran saya bisa menjadi pelipur bagi orang yang hanya butuh teman bicara.

Tubuh ini boleh saja melemah.
Tapi saya berusaha hati masih hangat, dan tangan saya masih ingin berbuat baik.

Dan saya yakin… selama tubuh ini masih bernapas, masih bisa sujud, masih bisa menolong, masih bisa menulis — maka masih banyak hal baik yang bisa saya lakukan.

Tidur Nyenyak Lebih Berharga dari Capaian

Ada masa dalam hidup saya, di mana tidur nyenyak terasa seperti kemewahan.
Bukan karena tidak punya kasur yang empuk, tapi karena pikiran terus terjaga.
Target kerja, cicilan, tekanan — semua berkumpul di kepala.
Tubuh rebah, tapi hati masih berlari.

Waktu itu, saya menganggap tidur sebagai bagian dari “waktu yang terbuang.”
Semakin sedikit tidur, semakin hebat rasanya.
Seolah begadang dan kelelahan adalah lambang produktivitas.

Kini, saya berpikir sebaliknya.

Tidur nyenyak adalah nikmat yang tidak bisa dibeli.
Dan saya lebih menghargai itu daripada sekadar pencapaian yang membuat saya kehilangan ketenangan.

Sekarang, saya lebih memilih tidur yang damai daripada pencapaian yang penuh cemas.
Lebih memilih malam yang sunyi dan bersih dari beban pikiran, daripada prestasi yang membuat saya lupa bagaimana caranya tersenyum.

Saya pernah mengejar banyak hal dalam hidup: pengakuan, angka di rekening dan lainnya.
Tapi tidak semuanya membawa ketenangan.
Dan akhirnya saya sadar, bahwa kebahagiaan itu bukan hanya soal “apa yang saya capai,” tapi juga “seberapa tenang saya bisa tidur malam ini.”

Ketika saya bisa memejamkan mata dengan perasaan cukup,
dengan hati yang sudah memaafkan diri sendiri,
dan dengan kepala yang tidak menunduk karena rasa bersalah —
maka itulah malam yang benar-benar berhasil saya jalani.

Tidur nyenyak… adalah tanda bahwa kita sedang tidak dikejar apa-apa, tidak menyimpan apa-apa, dan tidak pura-pura kuat.

Itu bukan kelemahan. Itu justru hadiah dari hidup yang seimbang.

Dan saya pikir, di usia sekarang — itu adalah capaian terbaik saya.

Sakit Sedikit, Tapi Banyak Bicara

Dulu, ketika badan terasa pegal, saya tinggal minum obat atau tidur sebentar.
Bangun tidur, segar kembali.
Tapi sekarang, sakit sedikit saja… terasa lama.
Masuk angin butuh dua hari. Pundak kaku tak kunjung reda.
Dan punggung seakan tahu kapan saya duduk terlalu lama — dia akan protes diam-diam.

Dulu tubuh saya seperti mesin: disuruh kerja keras, menurut saja.
Sekarang, tubuh saya seperti guru: sedikit saja saya lalai, dia akan memberi peringatan.

Lucunya, justru lewat sakit-sakit kecil itulah saya mulai belajar mendengarkan tubuh saya sendiri.
Dulu saya abaikan rasa lelah, sekarang saya belajar menghargainya.
Dulu saya lawan rasa kantuk, sekarang saya izinkan tubuh beristirahat.
Dulu saya berpikir tubuh harus kuat terus, sekarang saya mengerti: kuat itu bukan soal memaksa, tapi tahu kapan harus berhenti.

Sakit itu tidak selalu hukuman. Kadang ia adalah nasihat yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Dan tubuh kita… adalah sahabat yang sudah menemani sejak lahir, tapi sering kali kita abaikan selama puluhan tahun.

Sekarang saya mulai lebih akrab dengannya.
Saya tahu kapan dia meminta untuk lebih banyak air putih.
Saya bisa mengenali rasa tak nyaman setelah makanan yang terlalu asin, atau terlalu manis.
Saya tahu kapan tubuh butuh jalan pagi, dan kapan hanya butuh duduk tenang sambil menghirup udara.

Saya tidak ingin mengalahkan tubuh saya.
Saya ingin hidup selaras dengannya.

Karena mungkin, ini saatnya saya tak lagi menjadikan tubuh sebagai alat… tapi sebagai teman yang harus saya jaga.
Sakit sedikit, ya. Tapi kini saya lebih banyak mendengar.

Melambat Bukan Berarti Kalah

Di masa muda, kita diajari untuk cepat.
Berpikir cepat. Bertindak cepat. Respons cepat. Reaksi cepat.
Kata orang, dunia ini milik mereka yang bergerak cepat.

Saya pernah percaya itu.
Bahkan saya pernah mengukur nilai diri saya dari seberapa cepat saya bisa mencapai sesuatu: penghasilan, keputusan besar, perubahan hidup.

Tapi semakin saya bertambah usia, semakin saya belajar bahwa tidak semua yang cepat itu benar, dan tidak semua yang lambat itu tertinggal.

Ada orang yang cepat mengambil keputusan, lalu menyesal seumur hidup.
Ada orang yang lambat melangkah, tapi setiap langkahnya penuh pertimbangan dan keberkahan.
Ada yang cepat kaya, tapi hatinya sempit.
Ada yang rezekinya biasa saja, tapi hidupnya tenang dan cukup.

Sekarang saya sadar, melambat bukan berarti kalah.

Melambat adalah memilih untuk tidak tergesa.
Melambat adalah cara saya menghargai proses.
Melambat adalah ketika saya tidak hanya ingin sampai tujuan, tapi juga ingin menikmati perjalanannya.

Saya tidak lagi iri melihat orang lain yang tampak lebih maju.
Saya tidak lagi merasa terlambat hanya karena belum sebesar mereka.
Karena mungkin… saya memang tidak sedang berlomba.

Saya sedang berjalan.
Menemukan, belajar, memahami, menenangkan.
Dan kalau pun saya sampai lebih akhir dari orang lain, saya ingin sampai dengan hati yang tidak rusak karena terburu-buru.

Di usia ini, saya tidak ingin menjadi yang tercepat.
Saya ingin menjadi yang paling sadar ke mana saya melangkah.

Karena bagi saya, itu lebih penting… dan lebih membahagiakan.

Kenapa Waktu Kini Terasa Lebih Cepat?

Saat masih kecil, sehari terasa panjang sekali.
Menunggu sore tiba agar bisa main sepeda, rasanya seperti menanti lebaran. Libur seminggu saat sekolah, terasa seperti sebulan. Tapi kini, saya kadang merasa baru saja membuka mata… tahu-tahu sudah senja. Sudah sore, sudah malam. Sudah akhir pekan. Sudah bulan depan. Dan entah sejak kapan, tahun juga sudah berganti.

Waktu seperti berlari, dan saya tidak lagi sanggup mengejarnya.

Dulu saya kira ini hanya perasaan. Tapi semakin bertambah usia, semakin saya mengerti: waktu memang tidak berubah, tapi kita yang berubah.
Dulu kita hidup dengan penuh rasa penasaran, penuh jeda, penuh perasaan hadir. Sekarang, begitu banyak hal yang dilakukan sambil lalu. Pikiran ke mana-mana, tapi badan tetap bergerak. Kadang pekerjaan belum selesai, tapi pikiran sudah loncat ke hal berikutnya.

Di usia seperti ini, saya mulai menyadari bahwa rasa cepatnya waktu bukan karena jam bergerak lebih cepat, tapi karena kita tak lagi hidup dengan perlahan.

Kita tak lagi menikmati saat mengupas jeruk pelan-pelan.
Tak lagi benar-benar duduk untuk menikmati teh sore.
Tak lagi merenung setelah shalat, karena buru-buru buka HP.
Tak lagi menyentuh buku, karena lebih mudah menggulir layar.

Dan diam-diam, waktu pun mengalir — tidak lagi meninggalkan jejak yang dalam.

Maka saya mulai belajar memelankan diri. Bukan karena waktu bisa ditahan, tapi karena saya ingin merasakan kembali kehadiran saya di dalamnya. Saya ingin tahu rasanya pagi, bukan hanya melihat jam. Saya ingin tahu bunyi hujan, bukan hanya tahu atap basah.

Saya ingin hidup perlahan — karena waktu yang terasa lambat, justru sering kali adalah waktu yang paling bermakna.

Pagi yang Tak Lagi Tergesa

Dulu, pagi-pagi adalah lomba.
Lomba dengan waktu, dengan alarm yang kadang tidak sempat dimatikan, sebagian orang sibuk dengan urusan anak-anak sekolah, kemacetan, lalu setumpuk kerjaan. Bahkan secangkir kopi di rumahpun kadang hanya diseruput separuh — sisanya dingin di meja, terlupakan.

Saya ingat betul, saat itu saya tinggal dan bekerja di Jakarta, tidak beda dengan yang lain, Pagi adalah waktu paling sibuk sekaligus paling sempit. Semua serba tergesa: mandi, sarapan, buru-buru berangkat kerja — kadang dengan napas belum sempat teratur, saya sudah berada di tengah kemacetan panjang. Hari baru saja dimulai, tapi energi sudah terasa setengah habis.

Sekarang, setelah saya kembali tinggal di kampung, keberadaan pagi terasa sangat berbeda.
Tidak ada bunyi klakson bersahut-sahutan. Tidak ada gedung menjulang yang menutupi langit. Yang ada justru keheningan, seringkali ada suara burung bersahutan, dan langit yang bisa saya pandangi penuh-penuh tanpa terhalang kabel listrik atau iklan billboard.

Saya bisa duduk tenang, menatap langit dari jendela rumah. Kadang hanya memandangi daun-daun yang bergoyang pelan di gang sebelah, atau mendengar suara burung yang entah sejak kapan rutin menyapa dekat jemuran di lantai atas.

Saya mulai merasakan bahwa pagi bukan sekadar waktu untuk mulai bekerja, tapi waktu untuk memulai ulang diri saya.
Ada jeda yang dulu hilang, kini kembali.
Ada ruang hening yang dulu terasa mubazir, kini terasa sangat berharga.

Bukan karena saya tidak punya kerjaan. Masih ada yang harus diurus, kadang malah bertambah. Tapi saya tidak lagi ingin menjalani hidup seperti lomba. Terlalu sering mengejar, kadang membuat kita lupa: apa yang sebenarnya ingin kita capai?

Saya tidak ingin terburu-buru menuju usia yang lebih senja. Saya ingin menikmati setiap matahari yang terbit. Menyapa pagi dengan syukur. Menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Terima kasih, Tuhan. Saya masih di sini.”

Dan mungkin, itu sudah lebih dari cukup untuk memulai hari.

VMenu

Enter Block content here...


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam pharetra, tellus sit amet congue vulputate, nisi erat iaculis nibh, vitae feugiat sapien ante eget mauris.