Catatan Hardi..

Sepenggal Cerita dalam Sepertiga Akhir Kehidupan

Tuhan Tidak Pernah Jauh, Saya Saja yang Sibuk

Dulu saya sering merasa jauh dari Tuhan.
Bukan karena tidak percaya, bukan karena membenci, tapi karena terlalu sibuk.
Sibuk mengejar dunia.
Sibuk menyelesaikan pekerjaan.
Sibuk mengurus ini dan itu.
Sampai-sampai… saya lupa bahwa ada yang selalu menunggu saya untuk pulang.

Saya datang ke masjid hanya ketika ada waktu luang.
Membuka Al-Qur’an hanya saat hati sedang sepi.
Berdoa hanya ketika hidup sedang sulit.

Dan ketika semua terasa berat, saya mulai bertanya,
“Kenapa saya merasa Tuhan menjauh?”

Tapi sekarang saya sadar:
Tuhan tidak pernah jauh. Sayalah yang terlalu sibuk… sampai tidak sempat mendekat.

Tuhan tidak meninggalkan saya.
Saya saja yang perlahan-lahan menjauh, sedikit demi sedikit, tanpa sadar.

Dan meski begitu, Dia tetap menyambut saya saat kembali.
Tidak menegur dengan keras, tidak menghukum dengan benci —
hanya mengirimkan rindu lewat kegelisahan… dan mengundang saya lewat kesepian.

Saya belajar satu hal penting:
kesibukan bukan alasan untuk jauh dari Allah, justru seharusnya menjadi alasan untuk semakin mendekat.
Karena tak ada tempat sebaik itu untuk beristirahat — selain di hadapan-Nya.

Kini saya tak ingin menunggu sempit baru ingat sujud.
Saya tak ingin menunggu kehilangan baru ingat zikir.
Saya tak ingin menunggu gelap baru ingat cahaya-Nya.

Saya ingin datang… sebelum saya hilang.
Saya ingin kembali… sebelum saya benar-benar tersesat.

Karena ternyata, Allah tidak pernah pergi.
Saya saja yang terlalu sibuk dengan dunia,
sampai lupa bahwa akhirat sedang menunggu.

Bukan Lagi Tentang Banyaknya Doa, Tapi Dalamnya Sujud

Dulu, saya sering mengukur ibadah dari jumlahnya.
Berapa banyak doa yang saya panjatkan.
Berapa panjang dzikir yang saya ulang.
Berapa halaman Al-Qur’an yang saya baca dalam sehari.
Dan berapa banyak target ibadah yang bisa saya selesaikan dalam seminggu.

Tapi seiring waktu, terutama ketika usia mulai menua, saya mulai bertanya:
“Apakah saya benar-benar hadir dalam ibadah itu, atau hanya sekadar memenuhi daftar tugas?”

Saya mulai menyadari bahwa hati saya sering tidak ikut sujud.
Lidah saya berdoa, tapi pikiran saya ke mana-mana.
Tangan saya terangkat, tapi hati saya tidak benar-benar yakin.
Shalat terasa seperti rutinitas fisik — gerakannya ada, tapi rasanya hambar.

Sampai suatu malam, dalam kondisi lelah dan tanpa rencana panjang, saya sujud lebih lama.
Bukan dengan kata-kata indah.
Hanya diam… dengan dada yang sesak, mata yang basah, dan bisikan yang pelan:
“Ya Allah, saya tidak tahu harus berkata apa… tapi saya ingin dekat.”

Dan saat itulah saya paham:
kadang, satu sujud yang jujur jauh lebih bermakna dari seribu kalimat yang hafal.
Kadang, diam di hadapan Allah justru lebih dalam daripada bacaan yang panjang tapi kosong.

Saya pun tak lagi mengejar banyaknya permintaan.
Saya hanya ingin bisa sujud dengan tenang, dengan hati yang hadir, dengan tubuh yang sadar bahwa ia sedang kembali kepada Tuhannya.

Karena kini, saya lebih percaya:
Allah tidak menilai berapa panjang doa saya,
tapi seberapa tulus saya berserah.

Memaafkan Diri Sendiri

Saya pernah marah pada banyak hal —
pada keadaan, pada orang lain, pada waktu, bahkan pada Tuhan.
Tapi yang paling lama saya marahi… adalah diri saya sendiri.

Saya pernah merasa bodoh karena salah mengambil keputusan.
Pernah menyesali kenapa dulu tidak memilih jalan yang lain.
Pernah malu karena pernah terlalu percaya pada orang yang salah.
Dan lebih dari itu, saya pernah merasa tidak cukup baik — untuk keluarga, untuk orang tua, bahkan untuk diri saya sendiri.

Semua itu saya pendam bertahun-tahun.
Tersimpan rapi di balik senyum, aktivitas, dan status sosial.
Tapi di dalam hati… ada luka yang tidak sembuh karena saya belum pernah benar-benar memaafkan diri saya.

Sampai akhirnya saya duduk tenang suatu pagi dan bertanya,
“Apa gunanya saya menghakimi diri sendiri terus-menerus? Apa saya tidak layak diberi kesempatan untuk memulai lagi?”

Saya pun belajar satu hal penting:
memaafkan diri sendiri bukan berarti melupakan kesalahan, tapi menerima bahwa saya adalah manusia biasa.

Manusia yang bisa keliru.
Yang bisa kecewa.
Yang kadang niatnya baik tapi hasilnya buruk.
Yang kadang ingin memberi, tapi tak sanggup.
Yang kadang ingin kuat, tapi tetap rapuh.

Hari ini, saya ingin berhenti menyalahkan diri sendiri.
Saya ingin menepuk dada saya dan berkata,
“Terima kasih, ya. Kamu sudah bertahan sejauh ini.”
Saya ingin memeluk semua versi diri saya — yang dulu, yang sekarang, bahkan yang belum tahu akan jadi seperti apa ke depan.

Karena hidup tidak selalu tentang menjadi sempurna.
Tapi tentang menjadi jujur… dan belajar menerima.
Dan hari ini, saya mulai melakukannya:
memaafkan diri sendiri, tanpa tapi.

Mengapa Aplikasi Kasir Sangat Penting

Di era digital, penggunaan software dalam dunia usaha bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi kebutuhan. Peluang bisnis berbasis teknologi semakin terbuka lebar, terutama bagi mereka yang ingin menjalankan usaha dengan lebih efisien dan profesional. Software kasir dan aplikasi manajemen kini menjadi alat utama dalam meningkatkan daya saing usaha, dari skala kecil hingga menengah.

Manfaat penggunaan software sangat nyata. Continue reading

Ada Hikmah dalam Hal yang Tidak Saya Dapatkan

Dalam hidup, saya pernah menginginkan banyak hal.
Ada yang saya usahakan sungguh-sungguh, ada pula yang saya doakan terus-menerus.
Sebagian berhasil saya raih. Tapi sebagian lagi… tidak pernah saya dapatkan.

Dulu, kegagalan meraih sesuatu membuat saya kecewa.
Saya bertanya-tanya, “Apa kurangnya usaha saya? Kenapa doa saya tidak dikabulkan?”
Kadang saya merasa seolah-olah Allah menjauh, padahal saya sedang sangat berharap.

Tapi waktu berjalan, dan hidup perlahan mengungkapkan jawabannya.

Saya mulai melihat bahwa hal-hal yang tidak saya dapatkan itu… bukan bentuk penolakan, tapi perlindungan.

Ada pekerjaan yang dulu saya kejar-kejar, tapi tidak berhasil saya dapatkan.
Kini saya tahu, kalau saya jadi mengambilnya, mungkin saya tak akan punya waktu untuk keluarga.
Ada seseorang yang dulu sangat saya harapkan jadi jodoh, tapi jalannya tidak terbuka.
Kini saya sadar, hati saya mungkin tak akan tenang jika bersama dia.
Ada rencana yang dulu saya anggap satu-satunya jalan hidup, tapi akhirnya gagal.
Dan ternyata, kegagalan itulah yang justru membawa saya ke jalan yang lebih baik, lebih cocok, lebih tenang.

Kita sering mengukur hidup dari apa yang kita peroleh.
Tapi kadang, kebahagiaan justru datang dari apa yang tidak jadi kita miliki.

Kini, saya mulai berdamai.
Saya tidak lagi terlalu sibuk menyusun target hidup.
Saya lebih sering berkata dalam hati,
“Kalau ini baik untuk saya, ya Allah… dekatkan. Tapi kalau tidak, jauhkan — meski awalnya terasa pahit.”

Karena saya tahu, bukan semua yang saya inginkan itu baik untuk saya, dan bukan semua yang saya takutkan itu buruk bagi saya.

Ada hikmah dalam hal yang tidak saya dapatkan.
Dan sering kali, hikmahnya baru terlihat setelah saya tenang… setelah saya ikhlas… setelah saya tidak lagi marah pada takdir.


VMenu

Enter Block content here...


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam pharetra, tellus sit amet congue vulputate, nisi erat iaculis nibh, vitae feugiat sapien ante eget mauris.