
Terkini
Dulu saya sering melihat orang tua di sekitar saya — yang jalannya pelan, ucapannya kadang diulang, dan aktivitasnya mulai terbatas. Waktu muda, saya hanya melihat mereka dari kejauhan. Saya hormati, tapi belum tentu saya pahami.
Tapi sekarang, ketika usia saya sendiri berada dalam sepertiga akhir kehidupan ini, saya mulai lebih dekat… dan mulai belajar banyak dari mereka.
Saya melihat bagaimana mereka tetap sabar di tengah keterbatasan. Bagaimana mereka menerima kenyataan bahwa tubuh tak lagi sekuat dulu, bagaimana mereka ikhlas ketika harus bergantung pada orang lain, dan bagaimana mereka tetap tersenyum… meski kadang sepi dan tak banyak yang mendengarkan.
Saya bertanya dalam hati: “Apakah saya sudah siap menua sebijak itu?”
Ternyata, menjadi tua bukan soal jumlah tahun, tapi soal kesiapan hati. Soal kemampuan menerima — bahwa hidup memang berjalan satu arah, dan setiap kita, cepat atau lambat, akan sampai di titik yang sama.
Maka saya mulai mengamati mereka lebih saksama: Cara mereka menyederhanakan keinginan. Cara mereka memaknai waktu yang tersisa. Cara mereka lebih sering diam, bukan karena tak tahu, tapi karena sudah banyak belajar.
Saya belajar bahwa tidak semua yang tua itu lemah. Banyak dari mereka yang justru punya ketenangan yang tidak dimiliki oleh yang muda. Karena mereka sudah melewati badai, sudah kenyang dengan pujian dan luka,dan sudah paham bahwa hidup tidak harus dimenangkan setiap saat.
Sekarang, ketika melihat lansia duduk di teras rumah, atau berjalan perlahan menuju masjid, saya tidak lagi hanya melihat sosok yang lemah. Saya melihat guru kehidupan yang nyata. Yang sedang diam-diam mengajari saya:“Suatu hari nanti, kamu akan seperti kami. Maka siapkan hatimu dari sekarang.”
—————————— [...]
Sekarang anak-anak saya sudah remaja.Ada yang duduk di akhir SMP, ada yang menjelang bangku kuliah.Meski Mereka masih tinggal bersama saya, tapi saya tahu… dunia mereka sudah mulai bergeser.Bukan lagi tentang minta dibelikan mainan atau minta ditemani belajar,tapi mulai sibuk dengan tugas, teman-teman, organisasi, dan layar ponsel mereka sendiri.
Saya masih ada di rumah,tapi tidak lagi jadi pusat perhatian seperti dulu.Dan jujur saja, kadang saya rindu masa kecil mereka.Masa di mana mereka datang setiap kali ingin bercerita, bertanya, atau sekadar duduk di pangkuan saya.
Sekarang saya belajar sesuatu yang baru sebagai orang tua:bagaimana caranya tetap dekat dengan anak… tanpa membuat mereka merasa terganggu.
Saya mulai menyesuaikan cara bicara,belajar untuk mendengarkan lebih banyak daripada memberi nasihat.Kalau dulu saya suka memberi petuah panjang, sekarang saya cukup bilang,“Kalau kamu butuh apa-apa, Ayah ada di sini ya.”dan membiarkan mereka datang dengan sendirinya.
Saya tahu mereka masih butuh saya —tapi mungkin bukan dalam bentuk bantuan atau nasihat,melainkan dalam bentuk kehadiran yang tenang, tidak memaksa, dan siap mendengarkan.
Saya juga berusaha tidak tersinggung kalau mereka lebih sering sibuk dengan gawainya.Karena saya paham, di usia itu, mereka sedang membangun jati diri.Dan saya tidak ingin membuat mereka merasa bersalah hanya karena ingin punya ruang sendiri.
Yang saya lakukan sekarang hanyalah menjaga hubungan tetap hangat,membuka pintu komunikasi tanpa tekanan,dan mendoakan mereka lebih sering — bahkan ketika tidak sempat ngobrol panjang.
Karena kelak, ketika mereka benar-benar dewasa dan hidup di luar rumah,saya ingin mereka ingat bahwa orang tuanya dulu tidak mengganggu,tapi selalu hadir.Selalu mendukung.Dan selalu menjadi tempat paling nyaman untuk pulang. [...]
Dulu, setiap pagi adalah rutinitas.Bangun lebih awal, siapkan bekal, lalu antar anak ke sekolah.Kadang dalam perjalanan mereka bercerita, kadang diam.Kadang saya sempat menasihati, kadang menyimak cerita ringan.
Pernah satu kali, saya merasa lelah dan mengeluh kecil dalam hati:“Kapan mereka bisa pergi sendiri ya? Biar saya bisa istirahat lebih lama…”
Dan ternyata waktu menjawab lebih cepat dari yang saya duga.Hari itu datang:hari di mana satu anak tidak lagi minta diantar.
Dia mulai berangkat sendiri.Dengan motor, yang beberapa hari sebelumnya dia belajar mengendarainya.Tanpa banyak pamit, hanya lambaian tangan singkat, lalu pergi.dan anehnya, saya justru merasa kehilangan.
Ternyata… bukan antar jemputnya yang penting,tapi kebersamaan kecil yang dulu saya anggap biasa-biasa saja.
Saya merindukan suara mereka di pagi hari.Merindukan wajah setengah ngantuk mereka saat sarapan.Merindukan kalimat, “Pah, cepet dong, nanti telat!”Dan bahkan… merindukan kerepotan yang dulu membuat saya lelah.
Kini saya sadar, fase hidup terus berganti.Yang dulu rutin, kini jadi kenangan.Yang dulu terasa berat, kini terasa manis.
Saya belajar untuk lebih hadir saat masih diberi kesempatan.Karena tidak ada momen yang akan terulang persis seperti dulu.Anak-anak tumbuh. Kita pun berubah. Dan waktu… tidak pernah menunggu.
Sekarang, saya tidak ingin terburu-buru menyuruh waktu cepat berlalu.Saya ingin lebih banyak memperhatikan, mendengarkan, dan mencatat yang sederhana.Karena justru di sanalah ada kebahagiaan yang utuh. [...]
Ada hal-hal yang tidak perlu diceritakan.Termasuk urusan saya dengan Tuhan.
Saya tidak pandai berkata-kata soal tobat.Tidak pernah merasa cukup baik untuk berkata “saya sudah berubah.”Tapi dalam hati, ada ruang yang terus saya isi dengan penyesalan untuk mengingat bahwa saya pernah jauh, dan Allah masih memberi waktu untuk dekat.
Terkadang saya berusaha untuk duduk lama setelah shalat, hanya diam.Bukan karena tak tahu doa apa yang mau dipanjatkan,tapi karena takut semua doa saya terdengar terlalu egois —sementara saya sendiri belum banyak berubah.
Tapi saya tetap mencoba.
Perlahan.Dalam diam.Dengan cara yang hanya saya dan Allah yang tahu.Bukan dengan pernyataan besar, bukan dengan pengakuan terbuka.Hanya dengan sikap yang sedikit demi sedikit saya luruskan.Hanya dengan hati yang saya ajak bicara lebih jujur setiap malam.
Ustadz saya pernah berkata, Allah lebih suka orang yang berbenah dengan diam-diam…Saya percaya, tobat yang tenang, tetap sampai ke langit,kalau lahir dari hati yang sungguh-sungguh ingin kembali.
Dan saya hanya ingin menjadi hamba yang tahu diri.Yang sadar bahwa hidup ini tidak lama,dan bahwa satu langkah menuju kebaikan lebih berartidaripada seribu alasan untuk tetap seperti dulu. [...]
Dulu saya sering merasa jauh dari Tuhan.Bukan karena tidak percaya, bukan karena membenci, tapi karena terlalu sibuk.Sibuk mengejar dunia.Sibuk menyelesaikan pekerjaan.Sibuk mengurus ini dan itu.Sampai-sampai… saya lupa bahwa ada yang selalu menunggu saya untuk pulang.
Saya datang ke masjid hanya ketika ada waktu luang.Membuka Al-Qur’an hanya saat hati sedang sepi.Berdoa hanya ketika hidup sedang sulit.
Dan ketika semua terasa berat, saya mulai bertanya,“Kenapa saya merasa Tuhan menjauh?”
Tapi sekarang saya sadar:Tuhan tidak pernah jauh. Sayalah yang terlalu sibuk… sampai tidak sempat mendekat.
Tuhan tidak meninggalkan saya.Saya saja yang perlahan-lahan menjauh, sedikit demi sedikit, tanpa sadar.
Dan meski begitu, Dia tetap menyambut saya saat kembali.Tidak menegur dengan keras, tidak menghukum dengan benci —hanya mengirimkan rindu lewat kegelisahan… dan mengundang saya lewat kesepian.
Saya belajar satu hal penting:kesibukan bukan alasan untuk jauh dari Allah, justru seharusnya menjadi alasan untuk semakin mendekat.Karena tak ada tempat sebaik itu untuk beristirahat — selain di hadapan-Nya.
Kini saya tak ingin menunggu sempit baru ingat sujud.Saya tak ingin menunggu kehilangan baru ingat zikir.Saya tak ingin menunggu gelap baru ingat cahaya-Nya.
Saya ingin datang… sebelum saya hilang.Saya ingin kembali… sebelum saya benar-benar tersesat.
Karena ternyata, Allah tidak pernah pergi.Saya saja yang terlalu sibuk dengan dunia,sampai lupa bahwa akhirat sedang menunggu. [...]
Dulu, saya sering mengukur ibadah dari jumlahnya.Berapa banyak doa yang saya panjatkan.Berapa panjang dzikir yang saya ulang.Berapa halaman Al-Qur’an yang saya baca dalam sehari.Dan berapa banyak target ibadah yang bisa saya selesaikan dalam seminggu.
Tapi seiring waktu, terutama ketika usia mulai menua, saya mulai bertanya:“Apakah saya benar-benar hadir dalam ibadah itu, atau hanya sekadar memenuhi daftar tugas?”
Saya mulai menyadari bahwa hati saya sering tidak ikut sujud.Lidah saya berdoa, tapi pikiran saya ke mana-mana.Tangan saya terangkat, tapi hati saya tidak benar-benar yakin.Shalat terasa seperti rutinitas fisik — gerakannya ada, tapi rasanya hambar.
Sampai suatu malam, dalam kondisi lelah dan tanpa rencana panjang, saya sujud lebih lama.Bukan dengan kata-kata indah.Hanya diam… dengan dada yang sesak, mata yang basah, dan bisikan yang pelan:“Ya Allah, saya tidak tahu harus berkata apa… tapi saya ingin dekat.”
Dan saat itulah saya paham:kadang, satu sujud yang jujur jauh lebih bermakna dari seribu kalimat yang hafal.Kadang, diam di hadapan Allah justru lebih dalam daripada bacaan yang panjang tapi kosong.
Saya pun tak lagi mengejar banyaknya permintaan.Saya hanya ingin bisa sujud dengan tenang, dengan hati yang hadir, dengan tubuh yang sadar bahwa ia sedang kembali kepada Tuhannya.
Karena kini, saya lebih percaya:Allah tidak menilai berapa panjang doa saya,tapi seberapa tulus saya berserah. [...]