Wordpress Sample

Bukan Lagi Tentang Banyaknya Doa, Tapi Dalamnya Sujud

Dulu, saya sering mengukur ibadah dari jumlahnya.
Berapa banyak doa yang saya panjatkan.
Berapa panjang dzikir yang saya ulang.
Berapa halaman Al-Qur’an yang saya baca dalam sehari.
Dan berapa banyak target ibadah yang bisa saya selesaikan dalam seminggu.

Tapi seiring waktu, terutama ketika usia mulai menua, saya mulai bertanya:
“Apakah saya benar-benar hadir dalam ibadah itu, atau hanya sekadar memenuhi daftar tugas?”

Saya mulai menyadari bahwa hati saya sering tidak ikut sujud.
Lidah saya berdoa, tapi pikiran saya ke mana-mana.
Tangan saya terangkat, tapi hati saya tidak benar-benar yakin.
Shalat terasa seperti rutinitas fisik — gerakannya ada, tapi rasanya hambar.

Sampai suatu malam, dalam kondisi lelah dan tanpa rencana panjang, saya sujud lebih lama.
Bukan dengan kata-kata indah.
Hanya diam… dengan dada yang sesak, mata yang basah, dan bisikan yang pelan:
“Ya Allah, saya tidak tahu harus berkata apa… tapi saya ingin dekat.”

Dan saat itulah saya paham:
kadang, satu sujud yang jujur jauh lebih bermakna dari seribu kalimat yang hafal.
Kadang, diam di hadapan Allah justru lebih dalam daripada bacaan yang panjang tapi kosong.

Saya pun tak lagi mengejar banyaknya permintaan.
Saya hanya ingin bisa sujud dengan tenang, dengan hati yang hadir, dengan tubuh yang sadar bahwa ia sedang kembali kepada Tuhannya.

Karena kini, saya lebih percaya:
Allah tidak menilai berapa panjang doa saya,
tapi seberapa tulus saya berserah.