Wordpress Sample

Pagi yang Tak Lagi Tergesa

Dulu, pagi-pagi adalah lomba.
Lomba dengan waktu, dengan alarm yang kadang tidak sempat dimatikan, sebagian orang sibuk dengan urusan anak-anak sekolah, kemacetan, lalu setumpuk kerjaan. Bahkan secangkir kopi di rumahpun kadang hanya diseruput separuh — sisanya dingin di meja, terlupakan.

Saya ingat betul, saat itu saya tinggal dan bekerja di Jakarta, tidak beda dengan yang lain, Pagi adalah waktu paling sibuk sekaligus paling sempit. Semua serba tergesa: mandi, sarapan, buru-buru berangkat kerja — kadang dengan napas belum sempat teratur, saya sudah berada di tengah kemacetan panjang. Hari baru saja dimulai, tapi energi sudah terasa setengah habis.

Sekarang, setelah saya kembali tinggal di kampung, keberadaan pagi terasa sangat berbeda.
Tidak ada bunyi klakson bersahut-sahutan. Tidak ada gedung menjulang yang menutupi langit. Yang ada justru keheningan, seringkali ada suara burung bersahutan, dan langit yang bisa saya pandangi penuh-penuh tanpa terhalang kabel listrik atau iklan billboard.

Saya bisa duduk tenang, menatap langit dari jendela rumah. Kadang hanya memandangi daun-daun yang bergoyang pelan di gang sebelah, atau mendengar suara burung yang entah sejak kapan rutin menyapa dekat jemuran di lantai atas.

Saya mulai merasakan bahwa pagi bukan sekadar waktu untuk mulai bekerja, tapi waktu untuk memulai ulang diri saya.
Ada jeda yang dulu hilang, kini kembali.
Ada ruang hening yang dulu terasa mubazir, kini terasa sangat berharga.

Bukan karena saya tidak punya kerjaan. Masih ada yang harus diurus, kadang malah bertambah. Tapi saya tidak lagi ingin menjalani hidup seperti lomba. Terlalu sering mengejar, kadang membuat kita lupa: apa yang sebenarnya ingin kita capai?

Saya tidak ingin terburu-buru menuju usia yang lebih senja. Saya ingin menikmati setiap matahari yang terbit. Menyapa pagi dengan syukur. Menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Terima kasih, Tuhan. Saya masih di sini.”

Dan mungkin, itu sudah lebih dari cukup untuk memulai hari.