Saya pernah marah pada banyak hal —
pada keadaan, pada orang lain, pada waktu, bahkan pada Tuhan.
Tapi yang paling lama saya marahi… adalah diri saya sendiri.
Saya pernah merasa bodoh karena salah mengambil keputusan.
Pernah menyesali kenapa dulu tidak memilih jalan yang lain.
Pernah malu karena pernah terlalu percaya pada orang yang salah.
Dan lebih dari itu, saya pernah merasa tidak cukup baik — untuk keluarga, untuk orang tua, bahkan untuk diri saya sendiri.
Semua itu saya pendam bertahun-tahun.
Tersimpan rapi di balik senyum, aktivitas, dan status sosial.
Tapi di dalam hati… ada luka yang tidak sembuh karena saya belum pernah benar-benar memaafkan diri saya.
Sampai akhirnya saya duduk tenang suatu pagi dan bertanya,
“Apa gunanya saya menghakimi diri sendiri terus-menerus? Apa saya tidak layak diberi kesempatan untuk memulai lagi?”
Saya pun belajar satu hal penting:
memaafkan diri sendiri bukan berarti melupakan kesalahan, tapi menerima bahwa saya adalah manusia biasa.
Manusia yang bisa keliru.
Yang bisa kecewa.
Yang kadang niatnya baik tapi hasilnya buruk.
Yang kadang ingin memberi, tapi tak sanggup.
Yang kadang ingin kuat, tapi tetap rapuh.
Hari ini, saya ingin berhenti menyalahkan diri sendiri.
Saya ingin menepuk dada saya dan berkata,
“Terima kasih, ya. Kamu sudah bertahan sejauh ini.”
Saya ingin memeluk semua versi diri saya — yang dulu, yang sekarang, bahkan yang belum tahu akan jadi seperti apa ke depan.
Karena hidup tidak selalu tentang menjadi sempurna.
Tapi tentang menjadi jujur… dan belajar menerima.
Dan hari ini, saya mulai melakukannya:
memaafkan diri sendiri, tanpa tapi.